Omong Kosong Program Literasi



Jika seorang pelajar tidak pernah mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar Sekolah apakah ia akan lulus?

Jawabannya Pasti tidak.

Namun, Jika seorang pelajar TIDAK Pernah ke/mengakses Perpustakaan, Apakah akan lulus?

Jawabannya Pasti Lulus.

Tidak ada keraguan, penulis sangat sangat yakin.

Jika seorang pelajar tidak membaca buku nonteks selama sekolah apakah akan lulus?

Sekali lagi, penulis yakin pasti ia akan lulus.

Nah, oleh karena itu, rasanya percuma koar-koar literasi di sekolah jika yang tak gemar membaca pun Lulus. Atau mungkin ungkapan "Ijazah bukan bukti Kau pernah berpikir, namun hanya bukti kau pernah sekolah." memang benar adanya?

Suatu hari penulis mengikuti Rapat Koordinasi Nasional bidang Perpustakaan di Jakarta dimana narasumber yang diundang adalah beberapa tokoh publik yang memiliki power dan pengaruh besar. Namun, sangat disayangkan banyak narasumber penting tersebut tidak hadir karena berbagai urusan. It's Done. (Intinya mereka menganggap perpustakaan dan literasi informasi itu gak penting)

Mungkin pembaca akan mengatakan, ya mungkin saja mereka memang memiliki agenda penting yang tidak bisa ditinggalkan. Hey "If You Love, you will Jump" (Dialog dari film kingkong, ketika Jack Driscoll tidak jadi lompat ke laut untuk kembali ke kerjaan lama, ia lebih memilih tetap ikut berburu kingkong. Lalu Carl Denham Si pemburu kingkong mengatakan "Kalau kau mencintai pekerjaan lamamu kau akan melompat.") Kalau mereka menganggap perpustakaan itu penting mereka akan hadir.

Orang-orang hebat nan penting yang diundang seminar merasa perpustakaan bukan prioritas. Buktinya mereka enggan hadir. Penulis juga rutin mengikuti seminar/webinar yang berkaitan dengan gemar membaca dan literasi. Para narasumber memberikan materi tentang hal yang penulis sebut "hayalan Literasi."

Beberapa peserta memberi pertanyaan berbobot namun sayangnya si narasumber memberi jawaban 'sekenanya' saja sebagai formalitas tanya-jawab. Bahkan yang lebih disayangkan, kebanyakan peserta yang mengikuti seminar/webinar hanya menginginkan link absensi untuk mendapatkan sertifikat. setelah itu, "bodo amat" tentang isi seminar.

Sebagian narasumber hanya menyampaikan (read : hanya membaca) materi tanpa faham konsep keseluruhannya. Akhirnya seminar/webinar hanya menjadi proyek semata tanpa efek, tanpa dampak, dan hilang menguap begitu saja seiring pembawa acara menutup dan mengucapkan hamdalah.

Contoh kecil lain yang membuat penulis merasa kecewa adalah ketika salah seorang narasumber webinar literasi mengatakan kita sudah punya ebook yang sangat besar contohnya IOS (Indonesia One Search) padahal IOS bukan E-Book melainkan ekatalog guys...

Acap kali webinar seminar literasi  menghadirkan orang yang tidak gemar membaca, namun hanya mengundang profesional yang hanya berpikir kerja kerja kerja saja.

Di salah satu televisi swasta seorang pejabat pemerintah  pernah diundang membahas pentingnya membaca dan program literasi. Namun lucunya ketika pembawa acara bertanya "Buku apa yang paling ia sukai si pejabat bingung, hahaha, bullshit. 

Program Literasi memang hanya omong kosong.

Ada banyak koar-koar literasi yang digaungkan, namun rumus untuk menciptakan iklim gemar membaca dan melek literasi masing samar dan mengawang. Masyarakat kekurangan panutan seorang pembaca. Pemimpin kita bahkan mengatakan secara lisan hanya suka komik. Bacaan tanpa daya berpikir. 

Negara kita seperti kebingungan menerjemahkan Literasi ke Masyarakat. Mulai dari hilir hingga ke hulu. Kita masih bingung membuat regulasi yang mengikat dan membuat atau memaksa masyarakat jadi melek literasi. Atau mungkin sekedar membuat masyarakat suka ke perpustakaan dan membaca.

Pendidikan kita juga belum memberi kamar agar literasi bisa berkembang. Lihatlah kurikulum pendidikan kita yang tidak mewajibkan pelajar membaca buku non-teks selama sekolah.

Negara masih memahami Program Literasi sebagai program brantas buta huruf, seperti yang dijelaskan dalam Buku Peta Jalan GLN (Gerakan Literasi Nasional)  di situs kemdikbud.

ITU MULIA, namun itu terlalu dangkal PAK!!, bahkan sudah tidak relevan. Zaman sudah berubah, literasi saat ini harus menghasilkan masyarakat yang gemar membaca, melek informasi, dan bisa mencipta. 

Strategi Gerakan Literasi kita hanya berusaha membaur dengan program yang ada, strategi tersebut bahkan belum membahas hukuman apa bagi mereka yang tidak mengikuti program  literasi. Dan apresiasi apa bagi mereka yang gemar membaca. 

Sering kali pembuat Program literasi hanya menyuruh anak-anak berlari namun mereka tidak ikut berlari, bahkan anak-anak tersebut tidak menerima hadiah digaris finis. Dan sekali lagi mereka bahkan tidak perlu berlari jika mereka tidak mau. Program literasi tidak akan menghukum mereka toh.

Program Literasi kita hanya tawaran saja, bukan kewajiban. Hanya anjuran bukan jawaban. Hanya cemilan pilihan bukan menu utama. yang penting program literasi belum menjadi solusi karena pemangkunya bukan orang-orang yang gemar membaca. Gambaran paling jelas adalah sesuai awal artikel ini siswa tak suka membaca pun pasti lulus sekolah.

Kepedulian literasi hanya terbukti dari langkah nyata para pegiat literasi, mereka berjuang dengan jiwa dan raga ke berbagai pelosok negeri.  Mereka berinteraksi dari hati ke hati kepada masyarakat. Bahasa mereka sederhana namun wawasan mereka tinggi.

Para pegiat literasi tergerak untuk mendekatkan akses buku kepada masyarakat yang sulit mendapatkan buku. Bahkan ada beberapa masyarakat yang tidak mengenal apa itu perpustakaan. Ditambah lagi program kirim buku dari presiden RI kini sudah hilang. Karena tidak ada payung hukumnya. 

Mengutip pendapat Maman Suherman secara verbatif beliau mengatakan "penghentian pengiriman buku gratis adalah ketidakliterasian pemimpin karena tidak menyediakan payung hukum sebelum berucap. Hal ini justrul memutus akses buku kepada masyarakat."

Kita berharap Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang menilai Literasi Baca bisa menjadi pemantik penggerak kegiatan literasi di sekolah. Namun, penulis berharap ANBK harus diperkuat dengan kurikulum pendidikan kita dengan mewajiban perserta didik membaca buku non-pelajaran sebanyak banyaknya.

Penulis masih ingin memberberkan masalah ini lebih panjang lagi, namun rasanya percuma. Seharusnya APBN kita bisa dialokasikan untuk membuat regulasi literasi yang komprehensip mencakup semua kementrian, memperbaiki kurikulum pendidikan, membuat ratusan ribu perpustakaan, pengadaan jutaan buku, distribusi buku, pelatihan pustakawan, dan reward literasi agar program literasi tidak sekedar omong kosong.

Salam literasi






20 Comments

  1. Heheh dunia literasi memang harus masih terus digaungkan. Dan bisa di praktekan secara nyata

    ReplyDelete
  2. Sebentar lagi saya akan jadi ayah. Ini juga jadi ketakutan saya. Bagaimana seandainya jika didikan saya itu bertolak belakang dengan saya sendiri.

    Saya takut apa yang saya nasihati ke anak saya, saya belum aplikasikan di diri saya sendiri. Saya setuju dengan poin tulisan ini, sebelum memberikan nasihat, coba lihat diri sendiri dulu, apakah sudah.

    Koar-koar literasi, sendirinya belum menjadi manusia pembaca.

    Dalam banget kak tulisannya. Terus bersuara!!

    ReplyDelete
  3. Dilemanya di Indonesia ini dari dulu sampai sekarang adalah masalah pendidikan kak. Dalam skema pendidikan dan pekerjaan saja, di Indonesia masih mementingkan ijazah bukan kemampuan. Jadi nggak heran banyak pekerjaan masih diisi oleh mereka yang kurang kompeten di bidangnya. Jadi kita juga nggak boleh bergantung ke pemerintah saja, kesadaran literasi harus tumbuh dari pendidikan dasar yaitu keluarga. 😉

    ReplyDelete
  4. Saya masih suka membaca. Literasi dan budaya membaca pun sudah sering digaungkan oleh beberapa influencer, tapi memang ya sekarang ini eranya media digital dan sosmed, yang kontennya berupa suara dan video. Mengingat Indonesia masih dilanda wabah virus corona, ini aja beberapa lokasi masih menerapkan PPKM. Sebelum pandemi covid-19, beberapa perpustakaan masih ramai kok.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju.. beberapa perpus bnyk pngunjung. Tapi secara nasional lebih bnyak perpus yg sepi..

      Delete
  5. saat ini banyak program literasi yang dijalankan sebenarnya. hanya saja dari pribadi masyarakat indonesianua yang susah membaca, atau lebih tepatnya malas. mereka lebih suka bermedia sosial menonton yang kurang bermanfaat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Karena programnya sekedar anjuran.. gk ada sanksi.. jdi masyrakat tetap merasa literasi gk pnting..

      Delete
  6. saya rasa ijazah memang seperti tanda pernah sekolah.

    semoga makin banyak kepedulian dalam berliterasi, dan bukan omangan saja. Serta semoga komentar saya bukan omong kosong belaka. Jleb

    ReplyDelete
  7. Hm, apa boleh saya teruskan artikelnya ke grup ALINEA (Asosiasi Penulis Indonesia)? Di sana ada Wien Muldian dari GLN.

    ReplyDelete
  8. Terlepas bahwa minat membaca terus menurun karena serangan media hiburan video singkat seperti tiktok, youtube dan instagram. endurance terhadap literasi tetap harus diperjuangkan oleh negara. Karena bangsa kita tetap butuh orang-orang yang kuat literasinya. tetap butuh para pembaca yang merekam sejarah dan nilai-nilai luhur di otaknya. tanpa itu, kita akan kalah oleh bangsa-bangsa lain yang memprogram generasi mudanya untuk kuat membaca. Teruslah berjuang dengan optimis Mas Arjuna!

    ReplyDelete
  9. Mengena banget, nih, pernyataan tentang literasi di negara kita masih sebatas memberantas buta huruf. Masih minim usaha u mengarah ke budaya gemar membaca. Apa harus ada semacam punishment, ya...hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tujuan artikelnya itu🙂. Gmna caranya yg gk litrrat dapat punismen. Tinggal kelas. Tidak lulus dll

      Delete
  10. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  11. Penulisannya sangat tegas. Dan pernyataan yang paling relevan tentang "Gelar bukanlah bukti bahwa Anda telah berpikir, tetapi hanya bukti bahwa Anda pernah bersekolah."
    Ini harus menjadi pukulan bagi mereka yang telah memperoleh gelar.

    ReplyDelete
  12. menurut saya, walaupun gempuran bacaan digital banyak, saya masih lebih suka bacaan fisik karena lebih fokus dan anak terbiasa mencari sumber informasi yang jelas tidak hanya asal comot dari mesin pencari
    minat baca tinggi tapi tingkat pemahaman yang dibaca rendah juga fatal, sehingga harus sebanding meningkatkan minta baca juga meningkatkan tingkat pemahaman

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hasil pendidikan kita memang gitu cuma bikin orng bisa baca..

      Delete
  13. iya juga ya, di indonesia apapun yang di tulis di lembar jawaban saat ujian nilai yang keluar kemungkinan besar tetep KKM

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thats way. Literasi jadi omong kosong.. krn yg unliterat tetap KKM juga..

      Delete

Post a Comment

Previous Post Next Post

Featured post